Garasi rumah milik Tatik Setianingsih di Desa Brayo, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang disulap menjadi sebuah sanggar. Ukurannya hanya 3x6 meter, sanggar tersebut punya cita-cita mulia. Pemberdayaan masyarakat desa, mendorong para pemuda agar tidak merantau membiarkan potensi desanya.
Tacik, sapaan akrabnya, memberinya nama Sanggar Merti Desa. Sanggar untuk pemberdayaan masyarakat dan belajar buat banyak orang. Tentunya terbuka untuk umum.
Ruangan tersebut dilengkapi rak-rak perpustakaan. Lengkap dengan berbagai macam buku dan meja-meja bersama komputernya. Komunitas tersebut selalu ramai dikunjungi anak-anak tiap Jumat dan Minggu. Mereka difasilitasi untuk latihan menari, belajar, hingga mengerjakan PR.
Di sana ada kegiatan literasi membaca, keterampilan, menari juga komputer. Sementara tarian yang biasa diajarkan adalah tradisional, kreasi baru dan modern. Lebih sering tari tradisional asli Batang, seperti tari Babalu dan Simong.
Tidak fokus ke satu bidang, di sana. Sanggar tersebut juga mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki pemuda maupun masyarakat secara umum. Komintas itu telah berkembang di 11 desa di Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang. Namun pusatnya tetap di rumah Tacik, Desa Brayo, Wonotunggal.
"Kami masuk ke desa-desa mendorongnya untuk mengembangkan potensi yang ada. Melalui SDM dan SDA kami memetakan potensi," Tacik.
Tujuan utamanya, ia menginginkan anak-anak dan pemuda bisa tinggal di desa sendiri. Membangun desanya mengembangkan ekonomi di sana. Sembari melestarikan budaya.
Kisah itu bermula dari rasa prihatin terhadap beberapa hal. Ketika di desa itu sudah ramai anak muda yang punya potensi, mereka terpaksa meninggalkan desanya karena faktor ekonomi, merantau ke luar kota hingga luar negeri.
Potensi dari pemuda maupun desa terus didorong agar bisa dikembangkan. Misalnya potensi wisata, kesenian, juga ekonomi. Melalu pelatihan dan berbagai aktivitas produktif.
Kepengurusan inti Sanggar Merti Desa ada lima orang dari empat desa. Mereka sama-sama saling membiayai kegiatan di desa masing-masing, lewat kocek sendiri. Sanggar tersebut telah berbadan hukum dan berdiri semenjak 2011.
Mereka sering membuat pameran, untuk mendorong desa-desa yang dibina menampilkan produknya. Sanggar Merti Desa sendiri terkenal dengan produk olahan kain perca. Pada pameran itu, pihaknya juga memfasilitasi adanya pentas kesenian.
Menurut Tacik, tidak ada hal istimewa dan unik dari apa yang komunitasnya lakukan. Sanggar tersebut terlihat istimewa karena tidak banyak orang yang melakukannya. Ia punya moto bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin untuk suatu hal yang tampak, siapa mau pasti mampu.
(Pegiat Literasi Batang)